Sunday, June 4, 2017

EMPAT BELAS LIMA BELAS


Dari seberang jalan mataku menangkap sebuah gedung yang indah, gedung yang cantik, dan gedung yang membuatku terpesona. Memandang dengan lamunan kosong. Kekaguman yang datang secara tiba-tiba di saat lelahnya tugas yang terus bertubi-tubi untuk datang mengasah kemampuan. Pandangan lelahku dikaburkan dengan susunan buku-buku yang duduk cantik yang sedikit terlihat dari kejauhan. Tidak terlihat jelas.
Cepat sekali waktu berlalu. Hari itu datang seperti mimpi. Hari yang baru terukir kembali setelah setahun lalu telah berlalu. Entah untuk merayakan pekan sastra atau acara tahunan Bangkalan.
Kaki ini melangkah dengan lembutnya. Wanita-wanita sebayaku bergerombol mengikuti arus panas dan angin menuju pada gedung minimalis yang disusun indah. Menyusuri jalanan setapak yang cukup menyengat raga. Sunyi dan sepi terlihat gedung itu dari kejauhan.
“Kenapa belum ada yang datang? Waktu sudah hampir menujukan waktu yang ditentukan."
“Entahlah! Mungkin sebentar lagi.”
“Rumah mereka tidak sedekat pada tempat acara, bahkan mereka tidak menyewa penginapan seperti kita.”
“Iya juga sih!”
“Tunggu saja, nanti pasti akan berkumpul kok.”
Jalan panas yang aku jalani bersama teman-teman tidak terasa. Terasa gerah, namun hilang. Canda dan tawa menghilangkan keadaan yang sangat melawan tubuh. Cuaca panas menyerap dingin ketika berbaur dengan keusilan-keusilan yang dilakukan kami saat menuju gedung.
“Masuk saja ke dalam.”
“Tidak usah. Tunggu di sini saja.”
“Hemm..., di sini terik matahari masih terasa. Lanjut saja ke dalam, duduk langsung menunggu acara dimulai sembari merebahkan lelah setelah perjalanan dari rumah penginapan ke tempat itu dan sekaligus menunggu teman-teman yang lain.”
“Sudah tidak usah. Tunggu saja di sini. Aku yakin tidak akan lama. Jika memang mau duluan menuju gedung itu silahkan saja tidak apa-apa.”
“Terimakasih. Tidak usah. Jika menunggu di sini semua aku juga akan menunggu di sini.”
“Hahaha..., kasihan.”
“Cari tempat teduh saja! Biar tidak terlalu tersengat oleh matahari.”
“Oke, di sana saja. Di bawah pohon rindang itu.”
Kehebohan kembali bergemuruh. Kelucuan mengalihkan keadaan yang hening dan teriknya panas matahari. Hingga semua berkumpul dan memasuki gedung yang telah disiapkan.
Bergemuruh bersorak dalam acaranya. Pembukaan yang sungguh membuat gentar akan keadaan. Takjub dan kagum.
Alat musik dimainkan dengan indah melodinya oleh tangan-tangan yang lentik gemulai. Suara indah menggetar menambah suasana pemanis iringan melodi alat musik. Syahdu dan merdu. Keseruan terus bermunculan mulai memasuki tempat.
“Bagus!”
“Sangat bagus sekali, coba saja abadikan dengan ponselnya. Sebagai kenangan istilahnya.”
“Saran bagus itu. Hehe.”
“Ketawa saja, cepat keburu usai acaranya.”
“Oke.”
Alunan itu benar-benar membuat pengunjung memperhatikan penuh pertunjukan. Tanpa ada gentir sedikit pun. Hingga usai pertunjukan pembukaan.
Acara belum juga usai. Semua belum beranjak dari kursi plastik kumuh itu. Gelak canda tawa kembali hidup dan terkesan tidak ada beban. Undian hadiah. Hadiah yang biasa, namun berarti. Tidak mengingat waktu.
“Usai pukul berapa?”
“Maaf, saya tidak tahu. Kenapa?”
“Tidak apa-apa hanya bertanya saja.”
“Ehmm....”
Keresahan itu kembali datang. Tiba-tiba, senja itu semakin menusuk keadaan. Meredup seperti sedia kala.
***
Malam telah tiba. Kembali pada acara lagi. Acara yang mempesona di antara kebingungan.
Kaki ini melangkah dengan lembutnya kembali. Menyusuri jalan setapak yang telah dilewati sewaktu siang tadi. Memang berbeda. Kini malam gelap, bukan siang benderang yang mengeluarkan banyak cairan tubuh. Wanita-wanita sebayaku bergerombol mengikuti arus sayup angin malam dan menuju pada gedung minimalis yang disusun indah.
“Bagian dari pengorbanan yang harus memenuhi nilai ini.”
“Hehehe. Tidak apa-apa. Mahasiswa memang berbeda dengan siswa bisa yang sekolah di SD, SMP dan  SMA.
            Acara segera dimulai. Berkali-kali peringatan untuk memasuki gedung itu menguncang telinga. Bing. Itulah kehendak acara.
Teriakan itu sudah terdengar. Di sela keadaan yang serba sibuk.
“Dipersilahkan bagi mahasiswa dan para tamu undangan untuk menempatkan tempat yang sudah disediakan oleh panitia, karena acara akan segera dimulai. Terima kasih.”
            Acara malam yang dipandang bosan. Tidak seperti tadi. Tidak ada pertunjukan. Hanya omongan sastra oleh para penyair-penyair hebat di luar sana yang hadir pada kampungku ini.
            Lelah ini kembali menyelimuti tubuh ini. Kursi yang aku duduki mulai menghela nafas panas dari bawah. Mata mulai sayup, merah dan mengantuk. Lagi-lagi menggerutu dengan keadaan.
            “Kapan acara ini usai? Sudah sangat larut malam.”
            “Sungguh lelah dan bosan.”
“Usai pukul berapa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu kembali hadir dalam otak. Otak yang dibelenggu oleh ular yang berbisa.
“Maaf tidak tahu, kenapa?”
“Tidak apa-apa hanya bertanya saja.”
“Ehmm....”
“Lama sekali. Sungguh ini sudah larut malam.”
Kegelisahan kembali hadir. Bukan seperti tadi. Hanya kebosanan. Acara belum juga usai. Semua beranjak dari tempat duduk yang telah membuat lelah.
“Pulang saja! Biar meski acara belum juga usai.”
***
Hari telah berganti. Acara itu masih belum juga usai.
Kembali kaki ini melangkah dengan lembutnya. Panasnya aspal siang hari kembali membakar dahaga. Wanita-wanita sebayaku bergerombol menuju pada gedung.
Bergemuruh. Menyeru seru. Tidak seperti malam hari. Pertunjukan kian pertunjukan hadir kembali menghiasi gedung ini. Sungguh kembali terpukau. Hadir kembali musikalisasi yang syahdu. Fragmen puisi yang sungguh lucu dan dramatis. Takjub.
“Hahaha. Lucu dan indah. Kombinasi yang mudah dan rumit.”
Bergemuruh bersorak dalam acara setelah pertunjukan usai. Takjub dan kagum. Tidak sadar akan waktu.
Senja semakin melarut. Gemuruh bahagia bercampur gemuruh menggerutu. Waktu semakin memadat dengan suara azan.
“Usai pukul berapa sore ini?”
“Sepertinya seperti kemarin, nikmati saja. Nanti pasti pulang juga.”
Ucapan-ucapan telah diucapkan oleh para undangan tersohor. Bukan seperti saya maupun mereka yang duduk di kursi-kursi plastik. Namun mereka orang yang duduk di kursi lembut. Semuanya tampak sama, namun berbeda tahta.
Acara usai. Kembali semua beranjak dari tempat duduk. Menjauhi gedung bersama larutnya matahari.
***
“Acara kembali seru!”
“Malam puncak!”
“Berakhir.”

Seorang laki-laki separuh baya yang hebat kemudian sedikit keluar dari gedung itu. Sedikit bingung. Bernada suara agak lantang. Tergesa-gesa rasanya. Seperti marah.
“Tolong segera memasuki gedung! Acara akan segera dimulai. Duduk pada tempat yang sudah tersedia,” lelaki itu memberitahu.
Malam yang sedikit berbeda dari malam sebelumnya. Hiasan bintang itu terlihat kembali di pelupuk para mata. Mungkin karena malam ini adalah acara yang terakhir.
Pelupuk para mata mulai sendu. Malam semakin menusuk pada tubuh. Lembut dingin yang dibawa dari berbagai arah. Tiba-tiba terkejut. Menghidupkan suasana. Mata-mata layu kembali berbinar.
“Pertunjukan lagi!”
“Bakalan terhipnotis lagi.”
Musikalisasi terdengar kembali. Alunan nada indah itu kembali hadir. Suara dan nada awal membuat bangkit para pendengar. Sungguh membuat tidak berdaya benar-benar indah. Gemerincik sentuhan tangan gemulai pada alat musik mengiringi lagi. Nada yang membawa raga dalam penghayatan luar biasa.
“Kagum saja!”
Menghayati yang sangat khusyuk hingga usai. Lelah terbalas sebuah pertunjukan. Gemuruh ini kembali hadir. Pertunjukan kian pertunjukan datang sebagai penghibur lara. Bukan hanya musikalisasi. Pertujukan drama tubuh juga mempesona. Para penyair yang membacakan puisinya juga menumbuhkan keseruan yang lebih padaku.
“Sudah pukul 21.00 WIB.”
“Kapan acara ini usai? Mata ini sudah lelah.”
 Malam semakin memuncak. Kegelisahan kembali datang. Satu per satu[D1]  gedung ini ditinggalkan. Keseruan semakin bertambah. Namun, malam semakin larut. Kaki membawa tubuhku pergi menjauh dari gedung. Suara keseruan lambat laun sirna dari telinga.





 [D1]ada

1 comment: