Dari seberang
jalan mataku menangkap sebuah gedung yang indah, gedung yang cantik, dan gedung
yang membuatku terpesona. Memandang dengan lamunan kosong. Kekaguman yang
datang secara tiba-tiba di saat lelahnya tugas yang terus bertubi-tubi untuk
datang mengasah kemampuan. Pandangan lelahku dikaburkan dengan susunan
buku-buku yang duduk cantik yang sedikit terlihat dari kejauhan. Tidak terlihat
jelas.
Cepat sekali
waktu berlalu. Hari itu datang seperti mimpi. Hari yang baru terukir kembali
setelah setahun lalu telah berlalu. Entah untuk merayakan pekan sastra atau acara
tahunan Bangkalan.
Kaki ini
melangkah dengan lembutnya. Wanita-wanita sebayaku bergerombol mengikuti arus
panas dan angin menuju pada gedung minimalis yang disusun indah. Menyusuri
jalanan setapak yang cukup menyengat raga. Sunyi dan sepi terlihat gedung itu
dari kejauhan.
“Kenapa belum
ada yang datang? Waktu sudah hampir menujukan waktu yang ditentukan."
“Entahlah!
Mungkin sebentar lagi.”
“Rumah mereka
tidak sedekat pada tempat acara, bahkan mereka tidak menyewa penginapan seperti
kita.”
“Iya juga sih!”
“Tunggu saja,
nanti pasti akan berkumpul kok.”
Jalan panas yang
aku jalani bersama teman-teman tidak terasa. Terasa gerah, namun hilang. Canda
dan tawa menghilangkan keadaan yang sangat melawan tubuh. Cuaca panas menyerap
dingin ketika berbaur dengan keusilan-keusilan yang dilakukan kami saat menuju
gedung.
“Masuk saja ke
dalam.”
“Tidak usah.
Tunggu di sini saja.”
“Hemm..., di sini
terik matahari masih terasa. Lanjut saja ke dalam, duduk langsung menunggu
acara dimulai sembari merebahkan lelah setelah perjalanan dari rumah penginapan
ke tempat itu dan sekaligus menunggu teman-teman yang lain.”
“Sudah tidak
usah. Tunggu saja di sini. Aku yakin tidak akan lama. Jika memang mau duluan
menuju gedung itu silahkan saja tidak apa-apa.”
“Terimakasih.
Tidak usah. Jika menunggu di sini semua aku juga akan menunggu di sini.”
“Hahaha..., kasihan.”
“Cari tempat
teduh saja! Biar tidak terlalu tersengat oleh matahari.”
“Oke, di sana
saja. Di bawah pohon rindang itu.”
Kehebohan
kembali bergemuruh. Kelucuan mengalihkan keadaan yang hening dan teriknya panas
matahari. Hingga semua berkumpul dan memasuki gedung yang telah disiapkan.
Bergemuruh bersorak
dalam acaranya. Pembukaan yang sungguh membuat gentar akan keadaan. Takjub dan
kagum.
Alat musik
dimainkan dengan indah melodinya oleh tangan-tangan yang lentik gemulai. Suara
indah menggetar menambah suasana pemanis iringan melodi alat musik. Syahdu dan
merdu. Keseruan terus bermunculan mulai memasuki tempat.
“Bagus!”
“Sangat bagus
sekali, coba saja abadikan dengan ponselnya. Sebagai kenangan istilahnya.”
“Saran bagus
itu. Hehe.”
“Ketawa saja,
cepat keburu usai acaranya.”
“Oke.”
Alunan itu
benar-benar membuat pengunjung memperhatikan penuh pertunjukan. Tanpa ada
gentir sedikit pun.
Hingga usai pertunjukan pembukaan.
Acara belum juga
usai. Semua belum beranjak dari kursi plastik kumuh itu. Gelak canda tawa
kembali hidup dan terkesan tidak ada beban. Undian hadiah. Hadiah yang biasa,
namun berarti. Tidak mengingat waktu.
“Usai pukul
berapa?”
“Maaf, saya
tidak tahu. Kenapa?”
“Tidak apa-apa
hanya bertanya saja.”
“Ehmm....”
Keresahan itu
kembali datang. Tiba-tiba, senja itu semakin menusuk keadaan. Meredup seperti
sedia kala.
***
Malam telah
tiba. Kembali pada acara lagi. Acara yang mempesona di antara kebingungan.
Kaki ini
melangkah dengan lembutnya kembali. Menyusuri jalan setapak yang telah dilewati
sewaktu siang tadi. Memang berbeda. Kini malam gelap, bukan siang benderang
yang mengeluarkan banyak cairan tubuh. Wanita-wanita sebayaku bergerombol
mengikuti arus sayup angin malam dan menuju pada gedung minimalis yang disusun
indah.
“Bagian dari
pengorbanan yang harus memenuhi nilai ini.”
“Hehehe. Tidak
apa-apa. Mahasiswa memang berbeda dengan siswa bisa yang sekolah di SD, SMP dan
SMA.
Acara
segera dimulai. Berkali-kali peringatan untuk memasuki gedung itu menguncang
telinga. Bing. Itulah kehendak acara.
Teriakan itu
sudah terdengar. Di sela keadaan yang serba sibuk.
“Dipersilahkan
bagi mahasiswa dan para tamu undangan untuk menempatkan tempat yang sudah
disediakan oleh panitia, karena acara akan segera dimulai. Terima kasih.”
Acara
malam yang dipandang bosan. Tidak seperti tadi. Tidak ada pertunjukan. Hanya
omongan sastra oleh para penyair-penyair hebat di luar sana yang hadir pada
kampungku ini.
Lelah
ini kembali menyelimuti tubuh ini. Kursi yang aku duduki mulai menghela nafas
panas dari bawah. Mata mulai sayup, merah dan mengantuk. Lagi-lagi menggerutu
dengan keadaan.
“Kapan
acara ini usai? Sudah sangat larut malam.”
“Sungguh
lelah dan bosan.”
“Usai pukul
berapa?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu kembali hadir dalam otak. Otak yang dibelenggu oleh ular yang berbisa.
“Maaf tidak tahu, kenapa?”
“Tidak apa-apa
hanya bertanya saja.”
“Ehmm....”
“Lama sekali.
Sungguh ini sudah larut malam.”
Kegelisahan
kembali hadir. Bukan seperti tadi. Hanya kebosanan. Acara belum juga usai.
Semua beranjak dari tempat duduk yang telah membuat lelah.
“Pulang saja!
Biar meski acara belum juga usai.”
***
Hari telah
berganti. Acara itu masih belum juga usai.
Kembali kaki ini
melangkah dengan lembutnya. Panasnya aspal siang hari kembali membakar dahaga.
Wanita-wanita sebayaku bergerombol menuju pada gedung.
Bergemuruh.
Menyeru seru. Tidak seperti malam hari. Pertunjukan kian pertunjukan hadir
kembali menghiasi gedung ini. Sungguh kembali terpukau. Hadir kembali
musikalisasi yang syahdu. Fragmen puisi yang sungguh lucu dan dramatis. Takjub.
“Hahaha. Lucu
dan indah. Kombinasi yang mudah dan rumit.”
Bergemuruh
bersorak dalam acara setelah pertunjukan usai. Takjub dan kagum. Tidak sadar
akan waktu.
Senja semakin
melarut. Gemuruh bahagia bercampur gemuruh menggerutu. Waktu semakin memadat
dengan suara azan.
“Usai pukul
berapa sore ini?”
“Sepertinya
seperti kemarin, nikmati saja. Nanti pasti pulang juga.”
Ucapan-ucapan
telah diucapkan oleh para undangan tersohor. Bukan seperti saya maupun mereka
yang duduk di kursi-kursi plastik. Namun mereka orang yang duduk di kursi
lembut. Semuanya tampak sama, namun berbeda tahta.
Acara usai.
Kembali semua beranjak dari tempat duduk. Menjauhi gedung bersama larutnya
matahari.
***
“Acara kembali
seru!”
“Malam puncak!”
“Berakhir.”
Seorang
laki-laki separuh baya yang hebat kemudian sedikit keluar dari gedung itu.
Sedikit bingung. Bernada suara agak lantang. Tergesa-gesa rasanya. Seperti
marah.
“Tolong segera
memasuki gedung! Acara akan segera dimulai. Duduk pada tempat yang sudah
tersedia,” lelaki itu memberitahu.
Malam yang
sedikit berbeda dari malam sebelumnya. Hiasan bintang itu terlihat kembali di
pelupuk para mata. Mungkin karena malam ini adalah acara yang terakhir.
Pelupuk para
mata mulai sendu. Malam semakin menusuk pada tubuh. Lembut dingin yang dibawa
dari berbagai arah. Tiba-tiba terkejut. Menghidupkan suasana. Mata-mata layu
kembali berbinar.
“Pertunjukan
lagi!”
“Bakalan
terhipnotis lagi.”
Musikalisasi
terdengar kembali. Alunan nada indah itu kembali hadir. Suara dan nada awal
membuat bangkit para pendengar. Sungguh membuat tidak berdaya benar-benar
indah. Gemerincik sentuhan tangan gemulai pada alat musik mengiringi lagi. Nada
yang membawa raga dalam penghayatan luar biasa.
“Kagum saja!”
Menghayati yang
sangat khusyuk hingga usai. Lelah
terbalas sebuah pertunjukan. Gemuruh ini kembali hadir. Pertunjukan kian
pertunjukan datang sebagai penghibur lara. Bukan hanya musikalisasi. Pertujukan
drama tubuh juga mempesona. Para penyair yang membacakan puisinya juga menumbuhkan
keseruan yang lebih padaku.
“Sudah pukul
21.00 WIB.”
“Kapan acara ini
usai? Mata ini sudah lelah.”
Malam semakin memuncak.
Kegelisahan kembali datang. Satu per satu[D1]
gedung ini ditinggalkan. Keseruan semakin bertambah. Namun, malam semakin
larut. Kaki membawa tubuhku pergi menjauh dari gedung. Suara keseruan lambat laun
sirna dari telinga.
mbak azizah suwun ya
ReplyDelete